Jakarta, SinarNTB.Com - Menurut Dicky Budiman, penamaan penyakit mesti menghindari nama yang terkait geografis atau sifat yang dapat memberi stigma.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman mendukung rencana Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengganti nama penyakit cacar monyet atau monkeypox.
Dicky mengatakan, hal itu untuk menghindari stigma buruk dari penamaan penyakit tersebut.
“Bukan hanya bicara orang, tapi juga kota atau wilayah atau negara. Dan menurut saya, ini memang perlu, ini sesuai kaidah yang saat ini berlaku,” kata Dicky, Senin (15/8/2022).
Ia menuturkan, WHO juga akan mengganti nama bekas varian (clade) cacar monyet. Saat cacar monyet ditemukan dan menjadi endemik di Afrika, sistem penamaannya belum mengikuti kaidah yang berlaku saat ini.
Kata dia, penamaan penyakit mesti menghindari nama yang terkait geografis atau sifat yang dapat memberi stigma.
“Seperti halnya virus, itu juga harusnya dirubah,” bebernya.
Selain itu, Dicky menyebutkan, hal yang lebih penting dari penamaan penyakit menular ini adalah surveilans genom. Lalu, komunikasi risiko yang tepat kepada masyarakat agar tidak ada salah interpretasi dan stigmatisasi. L
Dilansir dari kantor berita Associated Press (AP), pada Sabtu (13/8/2022), WHO mengadakan forum terbuka untuk mengganti nama penyakit cacar monyet. Hal itu lantaran nama tersebut terkesan menghina atau memiliki konotasi rasis.
Kata dia, WHO juga telah mengganti nama dua keluarga atau clades dari virus cacar monyet, yaitu dengan menggunakan angka Romawi untuk menghindari stigmatisasi pada wilayah geografis tertentu.
"Versi penyakit yang sebelumnya dikenal sebagai Cekungan Kongo, sekarang akan dikenal sebagai Clade I dan clade Afrika Barat akan dikenal sebagai Clade II," bebernya.
WHO menyebutkan bahwa, keputusan tersebut dibuat saat pertemuan para ilmuwan pekan ini. Hal itu sejalan dengan praktik terbaik untuk penamaan penyakit.
“Bertujuan untuk menghindari yang menyebabkan pelanggaran terhadap kelompok budaya, sosial, nasional, regional, profesional, atau etnis, dan meminimalkan dampak negatif pada perdagangan, perjalanan, pariwisata atau kesejahteraan hewan.” terangnya.
Dicky menegaskan, banyak penyakit lain diberi nama berdasarkan wilayah geografis tempat penyakit itu pertama kali diidentifikasi, seperti ensefalitis Jepang, virus Marburg, influenza Spanyol, dan sindrom pernapasan Timur Tengah.
Sementara itu, WHO belum secara terbuka menyarankan untuk mengubah nama-nama penyakit tersebut. Cacar monyet pertama kali dinamai pada 1958 silam saat penelitian pada monyet di Denmark diamati memiliki penyakit “seperti cacar” meskipun mereka tidak dianggap sebagai reservoir hewan.
Menurutnya, lebih dari 31.000 kasus cacar monyet telah diidentifikasi secara global sejak Mei 2022 dengan mayoritas negara di luar Afrika.
"WHO menetapkan penularan cacar monyet sebagai keadaan darurat kesehatan global pada Juli 2022. Sementara Amerika Serikat (AS) menetapkan penularan cacar monyet sebagai keadaan darurat nasional awal bulan ini," tuturnya.
Sumber : Tirto.id
