Mataram, SinarNTB.Com - Persoalan agama merupakan yang sangat mendasar terhadap kehidupan manusia, karena agama mengandung unsur keyakinan di dalam diri sendiri manusia tentang yang ghaib sebagai kebenaran yang hakiki atau kemutlakan. Dalam pandangan umum, agama dipahami memiliki peran yang besar dalam kehidupan manusia, karena ia bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Melihat keberadaan agama islam sebagai realitas sosial, hakikat kehidupan sosial, reaksi yang diberikan agama terhadap perubahan sosial masyarakat serta peranan agama dalam kehidupan masyrakat dari beberapa tela`ahan yang dilakukan, agama sebagai unsur keyakinan telah memberikan suatu bentuk kehidupan bahwa orang beragama dapat bereksistensi sebagai manusia yang berbudi dan berintelektual mulia serta memiliki pegangan hidup. Oleh karena itu, dengan beragama manusia dapat hidup di dalam masyarakat secara harmonis dan dinamis serta dapat memajukan manusia secara bersama-sama.
Dalam filsafat sosial ada dua dimensi sistem keyakinan yaitu private dan publik, pada dasarnya setiap individu memiliki cara pandang yang berbeda. Misal, ada individu yang lebih mendahulukan hal yang bersifat pribadi dari pada hal yang sifanya pubik atau sosial. Anggapan ini menyebabkan munculnya keserakahan seorang atau sekelompok orang yang berujung pada eksploitasi atas orang lain.
Di sisi lain ada yang lebih menekankan keutamaan hal yang bersifat sosial. Pandangan ini menyebabkan diabaikannya kepentingan pribadi (individu). Bahkan keyakinan ini menyebabkan kediktatoran sebagai cara paling mudah untuk menekan keinginan individual manusia. Kedua cara pandang di atas merupakan filsafat sosial yang dapat mengingkari sebagian unsur kemanusiaan atas unsur lainnya.
Dari dua sudut pandang di atas islam tidak menganjurkan hal demikian bahkan islam menolak hal bersifal merugikan dan tidak memiliki kebermanfaatan, seperti sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh imam At-Tarmidzi:
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah –semoga Allah menridhainya- ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, ‘Termasuk baik Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”
Selain itu, islam juga menolak jika seorang ingin bermasyarakat karena sebuah keterpaksaan, dijelaskan pada salah satu firman Allah:
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (QS. Al-hujurat (49):13)
Dalam satu hadits juga dikatakan:
“Tidaklah sempurna keimanan seseorang apabila ia tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari)
Rententan ayat dan hadits di atas bukankah sudah cukup menjelaskan bagiamana seharusnya seorang muslim itu bersikap kepada saudaranya.
Cara pandang individu tentang nilai sosial yang dipaksakan atas ketidak mampuan manusia untuk terus bekerja sama agar lebih produktif akan memunculkan suatu potensi kesombongan pada diri manusia yang memiliki sejumlah kelebihan individual, baik dalam segi kekayaan, status sosial, sampai pada tingkat pendidikan.
Islam tidak hanya mengatur tentang peribadahan melainkan perilaku-perilaku sosial juga diatur dalam islam. Iqro yang dimaksud dalam ayat suci Al-Qur’an bukanlah membaca tulisan ataupun buku melainkan membaca perilaku sosial dan aspek-aspek sosial yang terjadi, tidak bisa dipungkiri perilaku sosial juga menjadi salah satu aspek penting dalam lancarnya peribadahan.
Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang dikaruniai dengan naluri dan sifat baik yang disebut fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Tetapi, apabila fitrah tersebut tidak sesuai pada jalannya akan menjadikan naluri mengarah kepada sifat yang negatif. Sebagai makhluk sosial, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki perilaku sosial yang baik dalam berinteraksi. Sehingga perilaku sosial sangat dibutuhkan perannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Allah SWT telah menjelaskan mengenai naluri manusia sebagai makhluk sosial dan tujuan pencitptaan naluri tersebut tercantum dalam Qur'an surat Az-zukhruf ayat 32:
"Kami telah menentukan di antara mereka keadaan hidup mereka di dunia ini, dan kami telah meninggikan sebagian mereka daripada sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka mengambil manfaat dari sebagian lain." (Qs. Az-Zukhruf: 32).
Pada ayat tersebut, jelas sudah maksud dari penciptaan naluri adalah agar manusia dapat mengambil manfaat ataupun pelajaran dari orang lain sebagai makhluk sosial, karena sejatinya respon naluri manusia terhadap hal yang negatif berbeda - beda, tergantung tingkat kedekatan seorang hamba kepada Allah SWT.
Dalam ayat lain di surah asy-syams ayat 7-10 menjelaskan juga tentang bagaimana manusia diciptakan dengan nafsu dan taqwa dan itu menjadi pembeda dalam hal pendekatan hamba kepada Allah SWT. Pada ayat itu menjelaskan bahwa nafsu yang dimaksud adalah nafsu amarah bissu, nafsu yang sangat berbahaya apabila melekat pada diri seseorang manusia. Sebab ia suka mengarahkan manusia kepada perbuatan dan perilaku yang dilarang agama.
Untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial, maka pada setiap masyarakat mempunyai nilai-nilai sosial yang mengatur tata nilai di dalam masyarakat tersebut. Termasuk di dalam nilai-nilai sosial ini tata susila serta adat kebiasaan. Nilai-nilai sosial ini merupakan ukuran-ukuran di dalam menilai tindakan dalam hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, tujuan nilai-nilai sosial ialah untuk mengadakan tata atau ketertiban. Tata ini hanya mungkin terwujud jika nilai-nilai sosial ini mempunyai wadah untuk menegakannya. Wadah dimaksud ialah struktur atau susunan masyarakat.
Untuk memahami bagaimana agama memberikan jawaban dan sumbangan terhadap tatanan sosial masyarakat, sangat tergantung pada sistem pendidikan, yaitu sistem belajar yang berorientasi pada membentuk masyarakat belajar di lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga agama diinternalisasikan di dalam kehidupannya sebagai basis penghayatan yang menumbuhkan etos dan etik sosial keagamaan.
Jika mengacu kepada ajaran Islam, maka dalam beberapa ayat Alquran disebutkan bahwa beragama itu merupakan fitrah manusia. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar- Rum: 30-31:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”.
Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa agama dalam masyarakat adalah untuk memperkuat legitimasi pembagian fungsi, dan pemberian ganjaran terhadap suatu tindakan yang merupakan ciri khas suatu masyarakat. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahn individu yang menyimpang.
Penulis: Nanang Sofian Putra
Sekertaris Bidang PAO HMI MPO Cabang Mataram