Oleh : Al Faruq*
SinarNTB.Com - PADA era saat ini, menjadi mahasiswa merupakan sebuah pilihan. Tidak banyak siswa diluar sana yang dapat bisa merasakan dunia perkuliahan. Kehidupan dan tanggung jawab dari siswa dan mahasiswa sangat berbeda, ada beban moral yang ditanggung ketika kita menjadi mahasiswa. Mahasiswa yang benar-benar mahasiswa adalah mereka yang mempunyai idealisme dan tidak terinterpretasi dari mana pun.
Mahasiswa bukan hanya duduk di kelas mendengarkan dosen lalu pulang. Tetapi, bagaimana kita bisa menerapkan ilmu yang didapatkan di lingkungan akademik ke dalam kehidupan sosial. Menerapkan secara nyata, menghilangkan sikap egoisme dan menghakimi mereka-mereka yang berbeda pendapat. Pasalnya, mahasiswa merupakan harapan bagi rakyat. Karena itu, idealisme bagi mahasiswa sangat dipertaruhkan. Ketika mahasiswa sudah kehilangan idealisme maka itu pertanda matinya demokrasi kita.
Masyarakat atau rakyat menaruh harapan besar kepada para mahasiswa, karena ketika partai politik sudah tidak bisa diharapkan dan DPR sudah tidak mereprentasikan suara rakyat, maka harapan terakhir adalah mahasiswa. Dengan mereka berjuang dan menyuarakan suara rakyat untuk digaungkan ke gedung istana perwakilan rakyat, kepada presiden, agar hak-hak mereka tidak ditindas oleh para penguasa yang serakah.
Urgensi idealisme bagi mahasiswa
Jika dalam sebuah negara tidak ada yang mengontrol dan seluruh kebijakan yang dibuat tidak ada yang mengkritik, maka para penguasa yang serakah itu tidak akan sadar dan tidak akan mengetahui bahwasannya keputusan dan kebijakan yang mereka buat itu telah menyengsarakan dan merugikan rakyatnya sendiri. Mereka seakan telah terbuai dan terlena jika hanya didiamkan saja. Maka sebagai mahasiswa sudah sepatutnya kita memiliki sikap dan jiwa idealisme sebagai bentuk pengejawantahan atas gelar mahasiswa dan sebagai wujud nyata pengabdian yang diberikan kepada masyarakat.
Kehadiran mahasiswa dalam setiap keputusan dan kebijakan yang diambil negara, daya nalar dan intelektual mahasiswa untuk sebuah kebaikan negara dan demi kebaikan bersama. Di sisi lain, jika mahasiswa sudah egois dan tidak peduli dengan keadaan negaranya maka kepada siapa lagi rakyat akan menaruh beban akan nasibnya. Jika rakyat sudah dijadikan domba, maka tunggu saja kehancuran sebuah negara.
Jangan sampai kata demokrasi hanya mahasiswa pelajari di dalam ruang kelas saja, namun jika melihat sebuah pelanggaran yang menciderai arti demokrasi itu sendiri. Mereka diam saja dan acuh tak acuh, maka patut dipertanyakan apakah idealisme mahasiswa masih ada di dalam benaknya.
Karena itu, kekuatan mahasiswa dalam membawa suatu perubahan bagi negara sudah tidak diragukan lagi. Jika kita melihat potret ke belakang, sejarah reformasi pada tahun 1998 penggagas utamanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang mempunyai daya pikir kritis yang sudah lelah melihat ketidakadilan dan penindasan yang terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh penguasa negara sehingga mereka berkumpul untuk menyatukan tekad dan suara untuk sebuah perubahan besar bagi negara dan membawa perubahan demi kebaikan bangsnya.
Tidak salah menjadi mahasiswa biasa, namun yang menjadi the big problem adalah ketika kita sebagai mahasiswa melihat sebuah penindasan juga sebuah kekacauan dan ketidakadilan hanya diam saja dan acuh tak acuh tidak peduli terhadap keaadaan sekitar. Daya kritis mahasiswa di era pandemi saat ini mulai memudar mereka hanya sibuk dengan ponselnya dan dunia internet membuat mereka nyaman dan mulai melupakan bahwa ada beban yang ditanggung oleh mereka ketika menjadi mahasiswa.
Oleh karena itu, kekuatan mahasiswa harus tetap dijaga dan dipertahankan. Jangan sampai memudar demi tegaknya keadilan dan jalan demokrasi yang sesuai dengan arah dan prinsip demokrasi yang sebenarnya dan tidak ternodai oleh tangan-tangan serakah para penguasa.
(*Penulis adalah Ketua Umum HMI Komisariat Taman Siswa Bima)