Oleh: Ery Al Faraby Arifin*
Dalam khazanah literatur islam, kekuasaan itu disematkan pada golongan manusia yang bernama “Umara”. Umara dalam bahasa arab merupakan bentuk plural dari kata “amir” yang berarti pemimpin, golongan ini biasa disebut dalam Al-Qur'an sebagai “ulul amri”.
Orang yang dikatakan sebagai pemimpin adalah orang yang mempunyai otoritas, ia mempunyai kewenangan mengambil keputusan yang dampaknya bisa mencakup semua orang dan wilayahnya meliputi kawasan tertentu.
Ada orang yang wilayah kekuasaanya meliputi sebuah desa, kecamatan, daerah atau bahkan sebuah negara. Karenanya, jumlah orang yang dipimpinnya adalah sebanyak satu desa, satu kecamatan, satu daerah dan bahkan satu negara. Ada pula pemimpin yang wilayah kekuasaanya hanya sebatas sebuah Rumah Tangga (RT) artinya, jumlah orang yang di pimpinya hanyalah sebanyak anggota keluarganya, akan tetapi ada juga orang yang hanya memimpin dirinya sendiri, Itupun tak kurang besarnya tanggung jawab yang harus diembannya dikarenakan tindakan pribadi tetap berdampak pada orang lain.
Pendek kata semua orang adalah pemimpin dengan luas kewenangan dan jumlah orang yang di pimpin berbeda-beda tergantung dari otoritas, tugas, dan tanggung jawabnya. Dalam surat Al Baqarah ayat 30, bahwa Allah SWT pernah menggumumkan kepada malaikat mengenai niat-nya untuk menciptakan Khalifah: "sesungguhnya aku hendak menjadikan Khalifah di muka Bumi ini”.
Ternyata, khalifah yang dimaksud oleh Allah itu merujuk kepada Nabi Adam As yang kemudian menjadi nenek moyang seluruh umat manusia. Dari ayat itulah kemudian bisa dipahami bahwa pada dasarnya semua manusia yang diciptakan setelah nabi Adam adalah khalifah di muka bumi ini.
Selanjutnya dalam suatu Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW menegaskan bahwa “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya". Jika pemahaman atas hadist ini dikombinasikan degan ayat di atas, maka jelaslah bahwa setiap manusia yang berakal adalah pemimpin. Tentu saja, masing- masing dengan otoritas yang bertingkat-tingkat tergantung dari situasi dan kondisinya.
Jika kekuasaan dipersonifikasikan sebagai seorang laki-laki, maka sebaiknya ia tidak hidup menyendiri (menjomblo). Kekuasaan itu persis laksana remaja yang sedang mabuk kepayang yang rmosinya labil, suasana hatinya gampang berubah, mudah marah dan sedih kadang beringas dan angkuh namun kadang kala juga ia bersikap santun gembira dan penuh kasih sayang.
Kekuasaan bisa keras bagai cadas tetapi kadang juga bisa lembut seperti salju, agar emosinya stabil suasana hatinya tidak gampang terseret dari tensi yang satu ke tensi yang lain. Sebaiknya kekuasaan harus didampingi oleh pasangannya atau kekasih sejatinya. Pertanyaan kemudian yang muncul adalah
siapakah cinta sejati dari kekuasaan itu,
Juga apa hal yang paling dibutuhkan kekuasaan untuk mencapai keseimbangannya? Jawabanya adalah orang yang berilmu.
Orang berilmu dalam bahasa arab di sebut sebagai orang ‘alim, yang bentuk pluralnya adalah ‘Ulama, Ulama atau yang biasa disebut sebagai “Ulul Albab” ini adalah golongan pemikir yang dianugerahi pemahaman tetang seluk beluk tentang sesuatu dan Ilmu mereka berasal dari Tuhan, sehingga kebenaran yang mereka pahami sesungguhnya adalah Sunnatullah yang kemudian dikenal dengan hukum-hukum alam. Pantas saja, ketika bicara tentang Kehidupan, Al-Qur'an selalu menyertakan dengan Ilmu.
Ayat Al-Qur'an yang pertama diturunkan berbunyi Iqra. Sebuah perintah tegas dari Allah untuk membaca surat-surat dari Allah, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Hal mana dengan tegas menganjurkan manusia untuk senantiasa untuk mempelajari Ilmu pengetahuan. Anjuran menuntut ilmu juga diwacanakan oleh Rasulullah SAW dalam himbauannya kepada manusia untuk menuntut Ilmu, bahkan bila perlu sampai ke negeri Cina, pun dalam berbagai Hadist lainya.
Dalam menjalani kehidupan, Al-Qur'an juga mengecam orang yang tidak mau menggunakan ilmu pengetahuan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan hidupnya .
Dalam pandangan Islam, setiap orang harus belajar, supaya bisa melakukan dan menyebarluaskan kebenaran. Allah melarang kita melakukan sesuatu jika tidak didasari dengan Ilmu. Melakukan sesuatu tampa ilmu berpotensi melahirkan bencana, bayangkan ketika kekuasaanya mengabaikan cintanya, bekerja tanpa didampingi Ilmu. Maka ia bisa menjelma menjadi senjata yang mematikan, menjadi petaka bagi orang yang seharusnya ia lindungi, bahkan menjadi penghancur bagi sesuatu yang seharusnya ia bangun.
Kekuasaan tampa ilmu jauh lebih berbahaya dibandingkan apapun yang anda bayangka. Oleh karena itu carilah Ilmu untuk menuntun kekuasaan anda, Ilmu tidak susah dicari. Jika tidak sanggup sekolah tinggi-tinggi, carilah orang yang berilmu. Mereka ada di mana-mana, yang harus dilakukan adalah tinggal bertanya, dengan menyesuaikan besarnya kekuasaan anda dan ilmu yang dibutuhkan.
Seperti halnya kekuasaan, ilmu juga memiliki tingkatannya. Orang berilmu mempunyai keluasan dan kedalaman pemahaman sendiri-sendiri. Semakin dalam ia belajar, semakin banyak yang ia berikan, akan tetapi intinya orang yang berilmu senantiasa belajar. Tak pernah berhenti menyelami keluasan Ilmu Allah yang tak terhingga. Pencarian ilmu, dengan demikian menjadi perjuangan abadi manusia yang tidak akan pernah berkesudahan.
Jadi untuk para penguasa dan pemilik ilmu, bersandinglah dalam cinta. Jadikan ilmu sebagai pasangan sejati kekuasaan agar kekuasaan itu bermanfaat, dan ilmu pengetahuan itu bermakna".
*(Penulis adalah Sekretaris Bapillu Gelora Kabupaten Bima)