Mataram, Sinarntb.com - Pada Jum'at (02/06/2023), Pusat Kajian Demokrasi Nusa Tenggara Barat (PUKAD NTB) "mengecam keras tindakan intimidasi, represif, kriminalisasi terhadap masa aksi yang tergabung dalam aliansi From Perjuangan Rakyat Donggo Soromandi (FPR DS) , yang dilakukan oleh Polres Kabupaten Bima, pada Selasa (30/05/2023)".
Direktur PUKAD NTB, Saudara Firmansyah, mengatakan bahwa, "bermula masa aksi aliansi (FPR DS) melakukan aksi perbaikan infrastruktur pada, Senin (15/05/2023), bertempat di Kantor Bupati, Kabupaten Bima. Dalam aksi tersebut, Tuntutan perbaikan infrastruktur tidak diamini oleh pemerintah kabupaten Bima dengan alasan "Tidak Ada Anggaran," dari hasil audiensi masa aksi FPR Donggo - Soromandi dengan Wakil Bupati Kabupaten Bima, pada Senin (15/05/2023).
Pada Selasa (30/05/2023) unjuk rasa tersebut dibubar paksa oleh pihak Aparat Kepolisian, dengan melakukan tindakan represif serta diangkut paksa terhadap masa aksi (FPR DS).
Aksi Front Perjuangan Rakyat Donggo Soromandi (FPR DS), sebagai bentuk protes terhadap Pemda Bima yang tidak mampu memperbaiki Infrastruktur jalan raya selama beberapa tahun terakhir ini di sepanjang jalan Kecamatan Donggo Kabupaten Bima.
"Nilai demokratis harus di junjung tinggi karna itu adalah bunyi UU. Hak asasi manusia tidak boleh di bungkam dengan dalil mengganggu ketertiban umum," bebernya.
Kata dia, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan amanah Undang-Undang Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, Negara tidak boleh membatasi hak kebebasan selama hal itu demi masyarakat Umum, tugas negara mengatur bukan membatasi.
Ia menegaskan, Aksi Demonstrasi yang berturut-turut yang dilakukan oleh Front Perjuangan Rakyat Donggo Soromandi (FPR DS) Sama sekali tidak ada tanggapan dan respon baik dari Pemda Bima, akibat mengabaikan tuntutan aksi mahasiswa selama beberapa hari tersebut, maka sejumlah masa aksi mengambil langkah dengan memboikot jalan raya dengan harapan Pemda Bima segera meresponnya.
Akibat jalan buntu, akhirnya Front Perjuangan Rakyat Donggo Soromandi (FPR DS) di bubarkan dengan tindakan Intimidasi, represif, dan Kriminalisasi oleh aparat penegak hukum dan Sikap apatis, tidak profesional oleh Pemda Bima. Saya sangat turut prihatin atas sikap Pemda Bima yang berujung pada penetapan sebagai tersangka 15 orang masa aksi yang dilakukan oleh Pihak Polres Kabupaten Bima.
Saya merespon tentang kejadian tersebut, dari prespektif hukum di tegaskan pada pasal 5 UU nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia yakni menciptakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang aman mewujudkan kehidupan masyarakat tata tentram, dalam menjalankan perannya, pihak aparat kepolisian wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional, itu tertuang dalam Pasal 30 ayat (4) UUD RI Tahun 1945 dan pasal 5 ayat (1) UU nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayan kepada masyarakat.
Aspirasi masyarakat yang di sampaikan adalah problem masyarakat yang seharusnya di respon dengan baik oleh Pemerintah Daerah Kab. Bima, dan pihak kepolisian seharusnya menjadi fasilitator dan melakukan tindakan-tindakan diluar tugas dan tanggung jawab pihak kepolisian sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002.
"Maka dengan rasa sadar dan sehat saya meminta kepada KAPOLDA NTB dan KAPOLRES Kab. Bima agar segera membebaskan 15 orang masa aksi FPR tanpa syarat," tutupnya. (*)
Penulis : Muhafid
Editor : Ahmadiansyah