Oleh : Irwan Julkarnain
*Penulis adalah Ketua PD KAMMI Mataram 2022
Mataram, sinarntb.com - Tidak terasa kita telah memasuki babak baru dari episode bernegara. Tahun 2024 menjadi tahun yang dinantikan oleh publik, bukan karena statusnya sebagai tahun yang baru, melainkan ada peristiwa besar yang akan dicatat dalam sejarah berbangsa dan bernegara ialah pemilu serentak akan mewarnai sepanjang tahun 2024 ini.
Pemilihan umum atau yang biasa disebut sebagai pemilu di Indonesia lekat dengan suatu proses memilih pemimpin. Momentum pemilu kerap disebut sebagai pesta demokrasi. Sebab, lewat pemilu, rakyat diberikan hak penuh untuk memilih calon pemimpin, dari tingkat daerah hingga ke level pusat.
Idealnya, pemilu sebagaiman diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017. Pasal 1 angka 1 UU, bahwa pemilu merupakan sarana yang memungkinkan kedaulatan rakyat ditegakkan. Baik itu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat sampai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sederhananya, pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya sesuai dengan asas yang berlaku.
Karena itu, pemilu menjadi salah satu sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Pasalnya, rakyat menjadi penentu dari hajat besar bangsa ini. Oleh karenanya kita mesti terlibat aktif, tidak hanya menjadi objek tetapi mesti menjadi subjek.
Memaknai Proses Politik di Indonesia
Pemilihan umum merupakan satu unsur penting dari pelaksanaan sistem demokrasi konstitusional yang meletakkan kedaulatan rakyat sebagai dasar atau fundamen pembentukan lembaga-lembaga politik demokrasi seperti badan legislatif maupun badan eksekutif. Pemilihan umum menjadi tolok ukur berjalannya proses demokratisasi, karena itu pemilihan umum harus dilaksanakan secara jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia sesuai dengan kaidah-kaidah universal penyelengaraan pemilu yang demokratis.
Pesta lima tahunan ini sejatinya harus tetap mengedepankan penghayatan atas nilai-nilai demokrasi. Adalah Benny Susetyo mengisyaratkan bahwa pemilu yang berkualitas terjadi jika seluruh kontestan bisa meraba suasana kebatinan di masyarakat bahwa yang dibutuhkan dari regularitas penyelenggaraan pemilu itu ialah perbaikan nasib bangsa dan negara ini ke depan, yang akan berdampak ada kehidupan masyarakat.
Bukan semata menjadi “hajatan” elite yang bisa dinikmati kelompok tertentu semata. Pemilu berkualitas itu merupakan komitmen partai politik untuk menghadirkan kualitas kompetisi yang berkualitas dalam konteks keadaban demokrasi. Para peserta pemilu menjadikan ide dan gagasan sebagai perdebatan dalam berkontestasi. Bukan isu SARA, saling hujat-menghujat ataupun memori-memori masa “keemasan” jaman dahulu. Oleh karena itu, Pemilu itu merupakan alat dalam menarik simpati rakyat dan tidak untuk menyebarkan berita bohong, hoax namun untuk menyebarkan gagasan, dialektika, serta pendidikan politik.
Dengan demikian, pesta demokrasi melalui pemilu yang adil dan beradab memang tidak langsung terlihat hasilnya, namun membutuhkan kesabaran. Karena itu, demokrasi adalah proses menjadi, maka dalam proses tersebut tidak ada yang ideal tetapi paling tidak mendekati. Pemilu bukan mencari yang terbaik tetapi mencegah yang buruk untuk berkuasa.
Dari pandangan tersebut, maka yang kita maknai sebagai proses politik itu adalah bukan hanya jalan menuju kekuasaan, tetapi bagaimana proses yang ditempuh dalam berdemokrasi bisa memenuhi, melunasi cita-cita kemerdekaan kita, seperti kecerdasan, keadilan, dan kesejahteran. Kita semua, yang terlibat dalam proses pemilu sadar bahwa ini bukan tentang siapa yang menang dan kalah, tetapi apakah pemilu 2024 ini menjadi spirit bersama merealisasikan komitmen ke-Indonesiaan kita.
Persoalan ini tidak lagi berbicara tentang siapa dapat apa melainkan hajatan bersama utuuk kepentingan bangsa dan negara. Kalau hal ini bisa kita tanamkan dalam diri masing-masing, maka rakyat akan melihat bahwa inilah proses yang dibutuhkan dalam berdemokrasi sehingga perlu ada kedewasaan dalam berpolitik, baik partai politik, para peserta dan kita semua sebagai warga negara yang baik. Karena cita-cita berpolitik bukan semata-mata untuk kekuasaan, tetapi untuk kemaslahatan bersama.
Jika demikian jalannya, maka pemilu merupakan bagian dari upaya untuk menerjemahkan praktek demokrasi dan kedaulatan rakyat agar pemerintahan yang terbentuk merepresentasikan kehendak bersama dari segenap elemen bangsa untuk membentuk dan melanjutkan konsepsi kenegaraan.
Menagih Komitmen Publik
Sejatinya ada pedih yang tersimpan. Dalam benak kita sebagai bangsa. Momentum pemilu seringkali gagal menjadi jembatan penghubung dan stasiun penyambung harapan-harapan baru dalam berbangsa dan bernegara.
Karena itu, kita mestinya berani menegakkan kebenaran yang sesunggungnya, demi tercapai Indonesia adil dan makmur. Inilah cita-cita dari kemerdekaan kita yang sejak 78 tahun lamanya digalakan. Begitulah takdir berhutang budi ini melekat pada setiap bangsa. Karenanya, setiap kali Pemilu itu hadir, semestinya merupakan momentum transformasi spirit dan falsafah dalam skala besar diantara anak bangsa bukan sebagai ajang perebutan kue kekuasaan semata.
Sekali lagi, kita mencoba merayakan pesta ini untuk yang kesekian kalinya. Bersama seluruh lapisan masyarakat, kita mengulang agenda 5 tahunan yang budgetingnya sangat mahal ini dengan gegap gempita, walau dihimpit kenyataan yang pahit dan menyedihkan. Dipanggung politik, jalan perubahan itu pasti ada. Sebab, secara teoritis, politik adalah jalan terdekat menuju kekuasaan. Sementara kekuasaan adalah jalan terdekat untuk melakukan perubahan yang mengikat dan nyata.
Sebagai anak bangsa, kita dipaksa untuk bersikap optimis. Separah apapun masalah negeri ini. Tetapi jujur saja, kadang kita tidak benar-benar menemukan energy optimism itu ada pada wajah-wajah politik di iklan-iklan. Begitulah realitasnya. Siapapun memang boleh berjanji. Dengan artikulasi, skript, dan tentu lakon serta adegan. Tetapi kita memerlukan lebih dari sekedar janji. Kita memerlukan integritas, komitmen, dan juga kapasitas. Integritas adalah modal dasar, sedangkan komitmen adalah pengikatnya, sementara, kapasitas adalah syarat mutlak untuk menjadi seorang pemimpin. Agar kelak sejarah menulis, bahwa pernah ada suatu masa, negeri ini mampu memenuhi cita-cita kemerdekaannya.
Selain itu, tugas utama setiap anak bangsa hari ini adalah mengisi agenda-agenda kemerdekaan itu dengan karya-karya terbaik. Kita mesti tampil sebagai anak bangsa yang berani berjuang dan berdiri untuk terus bergerak. Bung Karno pernah mengatakan: “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri yang akan dapat berdiri dengan tegak”.
Nasib yang dimaksud Bung Karno adalah nilai-nilai keindonesian kita sebagai bangsa. Keindonesiaan merupakan landasan utama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan menekankan pentingnya sikap keindonesiaan itu dapat diandaikan pada dasarnya menempatkan aspek ini sebagai elemen dasar bagi tumbuhnya demokrasi dan keadilan sosial di negeri ini.
Dengan kata lain, demokrasi dan keadilan sosial hanya dapat tumbuh secara sehat apabila landasan keindonesiaan itu telah kokoh terlebih dulu. Dengan demikian, di antara ketiga nilai yang dianutnya itu, keindonesiaan menempati posisi sentral.
Penting dicatat, nilai-nilai keindonesiaan tidak dibangun atas dasar klaim identitas sosial-budaya dan agama tertentu. Kelahiran dan pertumbuhannya lebih didasarkan atas perkembangan historis yang terkait dengan kolonialisme asing di bumi Nusantara yang berlangsung lebih dari tiga abad lamanya. Karena itu, keindonesiaan merupakan jawaban dialektis-historis yang muncul dari sistem kolonial yang eksploitatif versus cita-cita kemerdekaan nasional.
Dengan demikian, Keindonesian merupakan manifestasi dari perasaan senasib dan sependeritaan manusia yang hidup di bumi Nusantara. Atas dasar itu, dalam nilai keindonesian sudah dengan sendirinya terkandung semangat yang menghendaki adanya perekat yang dapat merajut kebhinekaan sosial-budaya masyarakat Indonesia. Dari sisi ini, maka nilai keindonesiaan pada dasarnya identik dengan konsep Bhineka Tunggal Ika.
Konsep ini sendiri mengandung pengertian bahwa keindonesian memang tidak ditujukan untuk mengeliminasi kebhinekaan di bumi Nusantara, melainkan justru mengakui dan menerimanya dengan tulus sebagai sebuah kenyataan sosial. Keindonesiaan adalah sebuah kenyataan sosial di mana dirinya menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Tetapi, hari- hari ini kita menyaksikan komitmen keindonesiaan itu menghadapi tantangan yang hebat. Padahal, disadari bahwa pertaruhan bagi keutuhan dan kelestarian bangsa antara lain terletak pada seberapa jauh komitmen keindonesiaan dapat dipertahankan secara konsisten oleh setiap warga negara.
Generasi perintis, founding fathers, telah memberikan contoh berharga. Di tengah sistem penindasan kolonial mereka sanggup secara kreatif mengupayakan apa yang beberapa dasawarsa kemudian kita namakan sebagai ‘Indonesia’. Karenanya, adalah suatu yang ironis jika generasi pewaris mengoyaknya hingga ke titik yang membahayakan keutuhan berbangsa. Karena demikian, Indonesia pada dasarnya telah memiliki modal dasar yang cukup kokoh. Tradisi hidup rukun, toleran dan bergotong-royong dapat dijadikan sebagai titik-tolak untuk memulai membangun komitmen bersama, terlebih pada momentum pemilu ini agar kita bisa ‘’menemukan kembali’’ (rediscovery) nilai-nilai keindonesiaan agar tetap terjaga.
Proses menjadi bangsa (being nation) memang masih harus menempuh perjalanan panjang. Namun, demikian jalan dengan membangun spirit bersama dalam pamnggung politik yang terbuka dan tanpa saling menjatuhkan jauh lebih bermartabat untuk merekonstruksi ulang keindonesiaan ketimbang menempuh jalan yang tidak bermartabat. Sudah saatnya kita, sebagai bangsa, bergerak bersama untuk merawat keindonesiaan.
Pemilu sekali lagi harus dilihat sebagai peluang. 2024 akan menjadi peristiwa bersejarah bagi bangsa kita yang besar ini. Momentum bersejarah ini akan kita kenang sebagai sebuah keberhasilan dalam membangun cita-cita keindonesiaan atau justru tidak berdampak apa-apa bagi pencapaian kemajuan. Semuanya akan kembali ke kita. Sejatinya komitmen kita sebagai anak bangsa sedang diuji. Kepentingnan bangsa itu jauh lebih besar dari kepentingan capres, kepentingan partai politik apalagi kepentingan pribadi kita masing-masing.(*)