Notification

×

Iklan

Iklan

Obral Guru Besar dan Redupnya Kampus

Kamis, 11 Juli 2024 | Juli 11, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-07-12T02:44:08Z

Oleh: Mahmud*

Dunia pendidikan kita kembali tercoreng. Kali ini bukan karena pelecehan seksual, korupsi atau mahalnya biaya pendidikan, tetapi karena gila jataban, gila jabatan guru besar atau profesor.

Penjernihan Istilah

Guru besar atau profesor adalah jabatan akademik, bukan gelar akademik. Selama ini kita menganggap atau kebanyakan orang Indonesia menganggap bahwa profesor adalah gelar akademik. Gelar akademik tertinggi sesungguhnya adalah doktor (S3). Di luar negeri, jabatan akademik di mulai dari assistant professor, associate professor dan fullprofessor. Di Indonesia, jataban ini disetarakan dengan asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar. 

Istilah jabatan di sini memiliki makna tersendiri. Selain memiliki masa berlaku, jabatan profesor juga bisa di evaluasi. Apabila sudah tidak layak lagi, maka jabatan profesor tersebut bisa dicabut. 

UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, orang yang dapat diangkat menjadi profesor adalah orang yang memiliki gelar akademik tertinggi yaitu doktor. Karena itu, tugas profesor  itu sangat berat. Selain membimbing calon doktor, profesor juga dituntut untuk menulis buku, menghasilkan karya ilmiah dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada masyarakat.

Namun, tidak semua orang bisa menulis, menghasilkan karya ilmiah dan mengabdikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Faktanya, praktek lancung untuk mendapatkan jabatan guru besar pun dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari manipulasi syarat administrasi, main mata dengan asesor di Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, hingga kualitas (substansi) seleksi calon guru besar diragukan.

Akibatnya, kampus tidak lagi memproduksi ilmu pengetahuan dan mencetak intelektual yang mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan masyarakat, tetapi mencetak orang-orang yang gila jabatan, gila gelar dan menghamba pada kekuasaan.

Masalahnya, ini meredukasi peran kampus, guru besar dan intelektual yang sesunggunya, yang benar-benar mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan berkontribusi kapada masyarakat banyak. Jabatan profesor memang menjanjikan kehidupan dan posisi di kampus atau di pemerintahan, dan tentunya jabatan itu sangat bergengsi di masyarakat.

Itulah yang mendorong orang-orang kampus berburu jabatan ini, bahkan dengan cara yang tidak di tuntun oleh kampus, kebenaran dan ilmu pengetahuan. Apalagi pemerintah berambisi mencetak 20 persen guru besar tanpa seleksi yang ketat, dengan dalih meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. 
Yang terjadi justru obral guru besar dan meredupnya kampus. Lebih jauh lagi, meredupnya ilmu pengetahuan. Padahal, kampus tempat di mana ilmu pengetahuan di produksi dan melahirkan intelektual-intelektual, meminjam istilah Ali Syari’ati, intelektual yang tercerahkan yaitu intelektual yang tidak hanya mencerahkan dirinya sendiri, kampus, tetapi juga mencerahkan masyarakat luas.

Redupnya kampus atau yang dibahasakan sebagai matinya universitas sebenarnya sudah jauh di warning oleh Noam Chomsky. Menurutnya, matinya universitas karena cara kerja universitas yang berokratis dan politis. 
Akibatnya, eksistensi universitas dan keberpihakan kepada ilmu pengetahuan menjadi lemah. Kampus disibukkan dengan kerja-kerja birokratis dan tidak bebas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, serta berinovasi.

Menurut Peter Fleming, matinya universitas juga terjadi karena neoliberalisme pendidikan dan budaya kerja yang buruk. Alih-alih memproduksi ilmu pengetahuan dan mencetak intelektual, universitas berubah menjadi pasar untuk mengakumulasi keuntungan dan menjadi beban kerja baru bagi manusia.

Namun, apakah tesis Noam Chomsky dan Peter Fleming tentang matinya universitas relevan dengan pendidikan dan kampus di Indonesia? Jawabanya, tentu sangan relevan dan bahkan jauh lebih buruk pendidikan dan kampus  di Indonesia.

Problem pendidikan di Indonesia, pertama, beban administratif. Kampus dan dosen dibebankan dengan kerja-kerja administratif. Akademisi seringkali terjebak dalam kerja-kerja teknokratik. Akibatnya, kampus dan akademisi jauh dari realitas sosial dan politik. 
Herbert Marcuse menyebutnya sebagai manusia satu dimensi (one dimensional man). Manusia satu dimensi adalah ekspresi manusia yang terkooptasi oleh sistem kapitalisme dan teknologi, sehingga kehilangan kemampuan kritis dan kesadaran sosialnya. 

Akademisi seolah-olah tertawan oleh sistem kerja dan lingkungan kerjanya. Mereka hanya bekerja dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh sistem, sehingga melumpuhkan kemampuan kritis dan daya kreativitasnya.
Kedua, orientasi kerja. Pendidikan hanya diarahkan untuk sekedar menghasilkan tenaga kerja, bukan pada peningkatan kualitas manusia. Paulo Freire mengilustrasikan ini secara detail. Menurutnya, kampus tidak lebih dari sekedar mesin pencetak tenaga kerja, bukan pada peningkatan kualitas manusia dan upaya memanusiakan manusia.

Ketiga, kapitalisasi pendidikan. Sebagai akibat dari neoliberalisme pendidikan, pendidikan beroperasi layaknya pasar dan bisnis yang menguntungkan. Mahasiswa hanya dijadikan objek untuk dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan. Namanya juga bisnis, maka bisnis harus juga menguntungkan. Akibatnya, orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi tidak bisa mengakses pendidikan dan mendapatkan pendidikan yang layak  dan berkualitas.

Padahal, salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendiri bangsa menyadari betul bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tanggung jawab negara dan itu yang dilakukan, antara lain oleh kampus. 

Namun, praktek lancung para pemburu jabatan guru besar itu telah merusak nama baik kampus. Perusakan kampus tidak hanya pembusukan dari orang-orang internal kampus, tetapi juga intervensi kekuasaan dari luar, sehingga menyebabkan kampus tidak bebas, kritis dan leluasa dalam berinovasi.

Mentalitas Instan

Praktek lancung para pemburu jabatan guru besar itu, selain merusak dunia akademik kita juga merupakan cerminan mentalitas budaya instan. Tidak mau belajar, berproses, menulis buku, menghasilkan karya ilmiah apalagi mengambangkan ilmu pengetahuan. 
Budaya kompetisi dan meritokrasi di kampus tampaknya mengalami pergeseran. Jalan pintas pun ditempuh untuk meraih jabatan prestisius dan bergengsi tersebut.

Ini mengingatkan kita tentang kritik Mukhtar Lubis. Menurutnya, mentalitas manusia Indonesia itu hipokrit atau munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, bersifat dan perilaku feodal, percaya takhayul, artistik dan bermental (karakter) lemah.

Lebih jauh lagi, Bung Karno telah mengingatkan kita, kolonialisme Hindia-Belanda telah membentuk mentalitas pecundang, rendah diri, penuh perasaan tak berdaya dan tak percaya diri. Kritik Mukhtar Lubis dan peringatan Bung Karno menemukan momentum, ketika para pemburu jabatan guru besar itu tanpa rasa malu merusak dunia pendidikan dan kampus. Merusak dunia pendidikan dan kampus, itu artinya merusak dan mematikan ilmu pengetahuan.

Karena itu, perlu ada upaya perbaikan secara sistemik dan paradigma pendidikan. Perbaikan secara sistemik yaitu perbaikan secara menyeluruh aspek-aspek yang terkait dengan pendidikan. Perbaikan paradigma pendidikan yaitu perbaikan pada paradigma pendidikan yang memanusiakan manusia, berkeadilan dan setara. Dengan demikian, dunia pendidikan dan kampus menjadi hidup.


*Penulis adalah Penulis Buku Lanskap Politik, Hukum dan Demokrasi Indonesia. 
** Opini tidak mewakili pihak redaksi dan bukan menjadi bagian dari tanggung jawab media ini 
×
Berita Terbaru Update