Oleh: Mahmud*
Adakah yang baru dari Pilkada 2024? Jawabannya, hampir tidak ada. Pilkada 2024 hanya sekedar mengulang Pilkada sebelum-sebelumnya, klasik dan kuno.
Dikatakan klasik dan kuno karena Pilkada 2024 hanya sekedar melaksanakan agenda demokrasi prosedural dan transisi kekuasaan politik kepala daerah semata tanpa melakukan perubahan politik yang mendasar.
Harapan kita untuk sampai pada politik substansi tampaknya masih jauh. Menurut Yudi Latif, secara struktural kelembagaan, politik kita berhasil dibentuk. Namun, secara kultural, politik kita masih feodal dan koruptif.
Itulah yang membuat politik kita sulit keluar dari jerat kuasa politik lingkaran setan. Alih-alih memperbaiki (bongkar pasang) sistem politik dan kelembagaan politik, integritas aktor-aktor politiklah yang rusak.
Itulah yang terlihat dari gelagat politisi yang minim gagasan, prestasi, dan krisis keteladanan.
Akhirnya, Pilkada 2024 hanya sekedar melaksanakan agenda demokrasi prosedural dan transisi kekuasaan politik kepala daerah semata tanpa melakukan perubahan politik yang mendasar.
Di sisi lain, Pilkada 2024 hanya sekedar politik gimik dan pencitraan politisi daerah untuk meraih kekuasaan daerah. Baliho-baliho yang terpampang di sepanjang jalan tanpa narasi dan gagasan menunjukkan isi kepala politisi daerah.
Buya Safi’i Ma’arif menyebutnya ini sebagai politisi rabun ayam dan politisi ikan lele. Politisi rabun ayam adalah politisi yang di dalam pikirannya hanya sekedar kekuasaan, proyek, uang, dan perempuan. Tidak memiliki visi misi politik jangka panjang dan kemanusiaan.
Politik gagasan, kemanusiaan, dan inklusifitas politik jauh darinya. Pikirannya hanya seluas perut dan piring nasinya. Politisi semacam ini bukan hanya gagal dalam membangun tatanan politik demokrasi dan keadaban politik, tetapi juga merusak “pasar” politik yang telah dibangun, yaitu tatanan politik demokrasi dan keteladanan politik yang baik.
Sementara itu, politisi ikan lele adalah politisi yang memanfaatkan situasi politik yang tidak jelas, mengalihkan perhatian publik, dan pada saat yang bersamaan, di balik layar mereka menikmati kue kekuasaan tanpa memikirkan rakyatnya.
Model politisi semacam ini adalah model politisi musiman. Di saat Pilkada, mereka hadir unjuk muka di masyarakat seolah-olah mereka pro terhadap rakyat. Setelah Pilkada, mereka hilang tak tahu ke mana.
Siklus ini akan terus terulang tanpa kita melakukan perubahan politik yang mendasar, yaitu perbaikan pada sistem politik, institusi politik, dan perilaku aktor-aktor politik secara menyeluruh.
Maka yang baru dari Pilkada 2024 adalah mengakali hukum, merubah syarat usia minimal calon kepala daerah dari sebelumnya berusia minimal 30 tahun sejak penetapan calon kepala daerah menjadi berusia minimal 30 tahun sejak pelantikan kepala daerah.
Sebuah logika hukum yang terbalik, mendahului proses politik (pemilihan), syarat usia minimal calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan kepala daerah.
Selebihnya, Pilkada 2024 hanya sekedar melaksanakan agenda demokrasi prosedural dan transisi kekuasaan politik kepala daerah semata.
Politik uang, nepotisme, dan dinasti politik malah semakin merebak. Politik gagasan malah kurang mendapat tempat. Ini bukan karena perdebatan politik gagasan itu tidak ada, tetapi karena politik gagasan itu tidak terlihat dari politisi yang bertarung di Pilkada 2024.
Maka yang terlihat adalah politik gimik, pencitraan, atribut-atribut politik yang menyampahi jalan, dan branding politik yang dibangun di media sosial. Semua itu dilakukan untuk mendapat simpati pemilih.
Teori dramaturgi Erfing Goffman menjelaskan ini, panggung itu ada dua: ada yang di dapan dan ada yang di belakang.
Di panggung depan, orang tampil membangun citra diri dan meninggalkan kesan kepada orang orang lain, sehingga membuat orang lain tertarik padanya. Albert Camus menyebutnya ini sebagai kesadaran yang menipu, kesadaran palsu.
Sementara di panggung belakang, orang menjadi dirinya sendiri. Di sinilah kita bisa melihat karakter dan keaslian seseorang.
Karena itu, kita harus melihat politisi di balik panggung, bahasa atau pesan politik yang ditinggalkannya, gestur, dan aktivitas politik yang diperlihatkannya. Jangan mau beli kucing dalam karung. Kita harus tahu bagaimana dan seperti apa kucing itu.
Pemilih harus cerdas, jangan mau tertipu dengan tampilan luar politisi. Pemilih harus jeli dalam melihat dan memilih calon pemimpinnya ke depan.
*Ironi Kelompok Intelektual*
Seorang mantan profesor sekaligus mantan presiden Brasil, Fernando Henrique Cardoso mengatakan, akademisi dilatih untuk mengatakan kebenaran. Politisi diajarkan untuk mengatakan kebohongan atau setidak-tidaknya mengamini kebohongan.
Pernyataan ini menggambarkan secara jelas posisi intelektual dengan politisi. Intelektual dilatih untuk mengatakan kebenaran, politisi diajarkan untuk mengatakan kebohongan. Namun, apabila politisi mengatakan keinginan, maka ia tidak akan mendapatkan keinginan.
Naasnya, seringkali relasi intelektual dengan politisi dan kekuasaan ini tidak jelas, bahkan ada intelektual yang “diternak” oleh politisi dan kekuasaan, ketika ada kehendak politik politisi dan kebijakan politik kekuasaan yang bertentangan dengan kepentingan publik, mereka hadir dengan berbagai justifikasi pembenaran.
Romo Mangun menyebutnya ini sebagai intelektual kelas kambing. Intelektual kelas kambing adalah intelektual yang punya kedekatan khusus dengan politisi dan kekuasaan, sehingga mereka tidak bisa berpikir objektif.
Seharusnya, relasi intelektual dengan politisi dan kekuasaan adalah relasi korektif, bukan relasi saling eksploitatif di mana politisi dan kekuasaan membayar intelektual dan intelektual menyukseskan agenda politik politisi dan membenarkan kekuasaan.
Karena itu, apabila ada agenda politisi dan kekuasaan yang bengkok, maka tugas intelektual adalah meluruskan, mengoreksi, bukan mendiamkan apalagi membenarkan.
*Penulis adalah Penulis Buku Lanskap Politik, Hukum dan Demokrasi Indonesia.
** Opini tidak mewakili pihak redaksi dan bukan menjadi bagian dari tanggung jawab media ini