Notification

×

Iklan

Iklan

Menjaga Integritas Pilkada Serentak 2024

Selasa, 03 September 2024 | September 03, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-09-30T02:40:00Z


Oleh: Muh. Fakhrur Rodzi, S.IP*

Dalam waktu dekat, Indonesia akan menggelar perhelatan demokrasi lima tahunan di tingkat lokal, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Momentum ini mencakup 37 provinsi serta 508 kabupaten dan kota, dengan hari pemungutan suara dijadwalkan pada 27 November 2024. Sebagai ajang penting dalam kehidupan demokrasi, Pilkada serentak ini membawa harapan akan terwujudnya pemimpin daerah yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat. Namun, nostalgia terhadap pelaksanaan Pilkada sebelumnya mengingatkan kita pada berbagai persoalan yang masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini.

Menjaga Netralitas Aparatur Negara

Salah satu tantangan utama dalam setiap Pilkada adalah menjaga netralitas aparatur sipil negara (ASN), petugas keamanan, serta para pemangku kepentingan lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, sudah sangat jelas disebutkan bahwa ASN harus bersikap netral. Namun, kenyataan di lapangan seringkali berbeda. Tidak sedikit ASN yang tergoda oleh manisnya politik praktis, sehingga kerap kali terlibat secara langsung dalam mendukung calon tertentu, terutama petahana.

Prof. Sofian Effendi, mantan ketua Komisi ASN, menegaskan bahwa ASN harus bersikap netral, tidak memihak dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Rakwanto, seorang peneliti dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), yang menyebutkan bahwa netralitas ASN diperlukan agar kepentingan negara, daerah, dan rakyat tetap terjaga. Bila netralitas ini terganggu, maka kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pilkada akan runtuh, dan demokrasi kita terancam.

Biaya Politik yang Terlalu Mahal

Seorang calon bupati atau wali kota harus menyiapkan dana yang tidak sedikit—setidaknya Rp30 miliar—untuk memenuhi kebutuhan kampanye, logistik, hingga biaya mahar politik. Biaya tinggi ini memicu kekhawatiran bahwa setelah terpilih, para kepala daerah akan lebih fokus mengembalikan "modal kampanye" ketimbang melayani masyarakat. Basaria Pandjaitan, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2014-2019, pernah menyebutkan bahwa mahalnya biaya politik menjadi salah satu faktor penyebab maraknya tindakan korupsi di kalangan kepala daerah.

Masalah lainnya adalah politik uang yang hingga kini belum mampu diberantas. Politik uang telah menjadi virus dalam demokrasi kita, di mana suara rakyat bisa dibeli dengan uang. Budaya transaksional ini merusak integritas demokrasi dan menjadi akar dari banyak kasus korupsi di negeri ini. Saat pemilih memilih berdasarkan uang, bukan visi dan misi calon, maka hasilnya adalah pemimpin yang tidak berintegritas.

Menjaga Kepercayaan Publik Terhadap KPU

Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga menjadi sorotan. Pengalaman pada Pilpres lalu yang diwarnai dengan tudingan ketidaknetralan KPU membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini menurun. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengamanatkan KPU untuk bersikap independen, namun dalam prakteknya tantangan untuk menjaga independensi ini sangat besar. KPU harus bekerja ekstra keras untuk memastikan integritasnya tetap terjaga agar kepercayaan publik tidak semakin luntur.

Kemudian yang terakhir, yang tak kalah penting adalah fenomena politik kekeluargaan dan kekerabatan. Pilkada di Indonesia sering kali diwarnai oleh praktik politik dinasti, di mana keluarga atau kerabat petahana memiliki pengaruh besar. Gery Van Klinken, seorang antropolog dari Belanda, menyebut bahwa Pilkada di Indonesia cenderung didominasi oleh elite lokal yang kuat, etnisitas, dan faktor kekerabatan. Ini menunjukkan bahwa desentralisasi, yang seharusnya mendorong kemandirian daerah, justru menciptakan tantangan baru berupa penguatan oligarki lokal.

Sebagaimana dikatakan oleh Senator Amerika Serikat, Oneill, "Demokrasi lokal menjadi syarat mutlak keberlangsungan demokrasi di tingkat nasional." Pilkada serentak 2024 adalah ujian besar bagi demokrasi kita. Sudah seharusnya semua pihak, baik aparat pemerintah, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat, bersama-sama menjaga integritas dan kualitas pelaksanaan Pilkada ini. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa demokrasi lokal yang sehat menjadi fondasi bagi keberlangsungan demokrasi nasional yang kuat.


*Penulis adalah anggota lingkar pinggir Bima
×
Berita Terbaru Update