Oleh: Muh. Fakhrurrozi*
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 semakin mendekat. Kurang dari dua minggu menuju hari pemilihan, suasana politik terasa semakin panas, ditandai dengan meningkatnya intensitas kampanye dan berbagai aktivitas politik. Seluruh elemen perangkat dan sumber daya pun disiapkan dengan matang oleh para kontestan untuk meraih hasil maksimal pada hari pencoblosan. Persiapan ini mencakup sumber daya finansial dan fisik untuk kampanye, blusukan, silaturahmi dengan konstituen, pemasangan baliho, penyediaan logistik politik, serta berbagai elemen pendukung lainnya.
Pilkada yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali ini merupakan pesta demokrasi lokal bagi masyarakat Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk menyelami fenomena yang terjadi menjelang Pilkada 2024, terutama terkait dengan perilaku pragmatis dalam pemilihan.
Hari Raya Pilkada
Istilah “hari raya” biasanya dikaitkan dengan perayaan yang penuh kegembiraan, rasa syukur, dan keceriaan. Namun, dalam konteks Pilkada 2024, hari raya yang dimaksud adalah “hari kemenangan” bagi sebagian kalangan pemilih pragmatis—yakni mereka yang melihat momentum ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan tunjangan hari Pilkada (THP). Bagi para pemilih pragmatis ini, Pilkada tidak hanya sekadar memilih calon pemimpin, tetapi juga menjadi “panen raya” yang mereka manfaatkan untuk menerima berbagai bentuk bantuan finansial dari calon yang berlaga.
Fenomena “panen raya” ini mengingatkan kita pada tradisi pemberian tunjangan hari raya (THR) saat Idul Fitri, di mana orang yang berkecukupan berbagi rezeki kepada mereka yang kurang mampu atau kepada sanak keluarga. Namun, dalam Pilkada, praktik ini mengarah pada fenomena money politics—calon dan tim suksesnya memberikan uang atau barang kepada konstituen dengan tujuan “membeli” suara mereka.
Praktik money politics yang marak dalam setiap pesta demokrasi ini tentu berdampak negatif pada citra Pilkada dan kualitas demokrasi lokal. Politik berbiaya tinggi mendorong sebagian calon kepala daerah untuk mengeluarkan dana besar guna meraih simpati dan suara. Namun, biaya tinggi ini juga kerap berujung pada komitmen tersembunyi dari para calon terpilih untuk “mengembalikan” dana yang telah dikeluarkan. Akibatnya, ketika mereka terpilih, orientasi kerja mereka dapat bergeser ke arah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Tantangan dan Harapan Demokrasi yang Belum Terselesaikan
Sampai saat ini, fenomena money politics belum bisa diberantas sepenuhnya. Penulis meyakini bahwa lemahnya regulasi terkait penegakan hukum dalam Pilkada, ditambah dengan rendahnya kesadaran politik baik dari kalangan kandidat maupun pemilih, menjadi salah satu faktor penyebab praktik ini tetap marak. Pemilih yang kurang paham tentang dampak jangka panjang dari tindakan pragmatis ini cenderung mengabaikan risiko yang akan mereka hadapi selama lima tahun ke depan.
Harapan besar untuk Pilkada 2024 adalah terwujudnya pesta demokrasi yang berkualitas, berintegritas, serta menjunjung tinggi prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Diharapkan juga partisipasi masyarakat dalam memilih calon pemimpin yang benar-benar memahami kebutuhan rakyat, tanpa terjebak dalam praktik politik transaksional yang merusak tatanan demokrasi.
Para pemilih diharapkan mampu menilai calon pemimpin yang benar-benar dapat membawa perubahan positif bagi daerahnya. Hanya dengan memilih pemimpin yang berintegritas dan berorientasi pada kepentingan masyarakat, kita bisa mengharapkan proses demokrasi yang sehat dan pemerintahan yang lebih baik di masa mendatang.
*Penulis adalah Pemuda Lingkar Pinggir Bima